Rasa gelisah yang menggerogoti Sakti sudah sampai di posisi paling puncak. Ketika menyaksikan ada seorang lelaki terhuyung-huyung meminta tolong, berdarah-darah di tengah keramaian, dan tidak ada yang berani menolong karena huru-hara sedang berlangsung, Sakti menelan ludah. Ada dua hal yang membuatnya tambah gelisah. Yang pertama, betapa rasa kebersamaan di negeri ini semakin terusik, dan rasa nyaman seakan dibuat tidak punya tempat. Yang kedua, betapa televisi (atas nama tayangan ekslusif, paling cepat) tak lagi menghitung apa yang ditayangkan sungguh membuat orang ketakutan. Gambar-gambar itu menjadi teror tersendiri.
Seperti berada di negeri cowboy, dar der dor pistol diterjemahkan seperti bunyi petasan saja. Baru ngeh, ketika orang pada roboh dan hilang nyawa seketika.
Apa yang tengah berlangsung di bumi pertiwi? Apa yang sedang berkecamuk di benak orang perorang anak negeri ini? Pertanyaan yang tidak pernah mendapat jawaban. Sakti hanya menyimpan pertanyaan itu, dan setiap ada peristiwa, seperti di Tarakan, Kalimantan dan tiba-tiba terjadi pula di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hari Rabu (29'9) siang, pertanyaan itu muncul lagi. Tak pernah ada jawaban.
Banyak orang menyebutnya perang suku. Bulshit! kata hati Sakti keras. Coba saja susuri persoalan awal, selalu berangkat dari pertikaian orang perorang, lalu yang laing mudah disulut memang dirembetkan ke kelompok.
Negeriku, negeri cowboy. Nyawa melayang di mana-mana, sia-sia. Bahkan petugas keamanan pun semena-sema terserempet dan diserang frontal. Lha, kalau yang kita yakini sebagai penjaga keamanan dan kenyamanan kita sebagai warga negara pun sudah diacak-acak, mau dibawa ke mana kita ini? Apakah harus sampai pada titik, keluar rumah pun kita sudah ketakutan?
Kalau sudah begini, kita tetap kembali pada aturan main sesungguhnya. Petugas keamanan harus tegas menindak siapa yang bersalah. Tegas, tangkas, tanggap, tepat dan cepat.
Tidak ada itu perang suku! kata hati Sakti. Yang ada adalah perang kepentingan orang perorang membawa-bawa kelompok.
Sakti kemudian menyeruput kopi dan menyulut sebatang rokok. Berharap semua segera selesai dan hidup di negeri yang demokratis dan berazaskan Pancasila ini rukun tenteram, aman sejahtera dan sentosa.
Seperti berada di negeri cowboy, dar der dor pistol diterjemahkan seperti bunyi petasan saja. Baru ngeh, ketika orang pada roboh dan hilang nyawa seketika.
Apa yang tengah berlangsung di bumi pertiwi? Apa yang sedang berkecamuk di benak orang perorang anak negeri ini? Pertanyaan yang tidak pernah mendapat jawaban. Sakti hanya menyimpan pertanyaan itu, dan setiap ada peristiwa, seperti di Tarakan, Kalimantan dan tiba-tiba terjadi pula di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hari Rabu (29'9) siang, pertanyaan itu muncul lagi. Tak pernah ada jawaban.
Banyak orang menyebutnya perang suku. Bulshit! kata hati Sakti keras. Coba saja susuri persoalan awal, selalu berangkat dari pertikaian orang perorang, lalu yang laing mudah disulut memang dirembetkan ke kelompok.
Negeriku, negeri cowboy. Nyawa melayang di mana-mana, sia-sia. Bahkan petugas keamanan pun semena-sema terserempet dan diserang frontal. Lha, kalau yang kita yakini sebagai penjaga keamanan dan kenyamanan kita sebagai warga negara pun sudah diacak-acak, mau dibawa ke mana kita ini? Apakah harus sampai pada titik, keluar rumah pun kita sudah ketakutan?
Kalau sudah begini, kita tetap kembali pada aturan main sesungguhnya. Petugas keamanan harus tegas menindak siapa yang bersalah. Tegas, tangkas, tanggap, tepat dan cepat.
Tidak ada itu perang suku! kata hati Sakti. Yang ada adalah perang kepentingan orang perorang membawa-bawa kelompok.
Sakti kemudian menyeruput kopi dan menyulut sebatang rokok. Berharap semua segera selesai dan hidup di negeri yang demokratis dan berazaskan Pancasila ini rukun tenteram, aman sejahtera dan sentosa.
0 komentar:
Posting Komentar